Edisi No 35 - Isra' Mikraj dan Isyarat Datangnya Pertolongan Allah SWT
Buletin Kaffah No. 35, 19
Rajab 1439 H - 6 April 2018 M
ISRA MIKRAJ DAN ISYARAT DATANGNYA PERTOLONGAN ALLAH SWT
Bulan Rajab tak bisa dipisahkan dengan Isra Mikraj. Peristiwa
Isra Mikraj, yang terjadi pada bulan Rajab, sungguh sarat makna. Tentu peristiwa
ini tidak boleh dibaca sebagai peristiwa yang terpisah dengan rangkaian sirah
Rasulullah saw.
Peristiwa Isra Mikraj terjadi
setelah Rasul saw. bersama para sahabat beliau menempuh waktu sebelas tahun
perjalanan dakwah di tengah-tengah masyarakat.
Pada tiga tahun pertama kenabian,
Rasul saw. membina para sahabat agar memiliki kepribadian islami dan keimanan
yang kokoh; agar mampu memikul beban dakwah; juga sanggup mengorbankan apapun
untuk menyerukan Islam dan menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur
kehidupan umat manusia.
Tahun-tahun berikutnya, Rasul saw. bersama
para sahabat berinteraksi di tengah-tengah masyarakat dengan membawa risalah
agung ini, Islam. Pertama: Beliau melakukan pergolakan pemikiran dengan
menyerang akidah dan pemikiran rusak seraya menjelaskan kerusakan dan
keburukannya. Kemudian beliau menjelaskan akidah Islam yang lurus dan jernih
sekaligus manusiawi. Beliau mendorong umat agar hanya mengambil akidah dan
pemikiran Islam itu sebagai solusi bagi semua permasalahan kehidupan mereka.
Kedua: Beliau melakukan perjuangan
politik dengan menentang segala bentuk penjajahan, kezaliman para penguasa,
serta kekufuran sistem mereka. Beliau menyingkap kejahatan, makar dan tipudaya
busuk mereka. Beliau menjelaskan kepada umat hakikat para penguasa yang justru
mengekploitasi umat demi keuntungan pribadi.
Namun demikian, sebagai konsekuensinya,
Rasul saw. dan para sahabat dipersekusi. Mereka disiksa, dipukuli, dijemur di
bawah terik matahari, dilempari batu dan kotoran ternak. Di antara mereka
bahkan ada yang meninggal karena siksaan. Beliau juga berhadapan dengan
propaganda buruk, kampanye hitam dan pembunuhan karakter. Beliau dicap sebagai
dukun, orang gila, atau tukang sihir. Risalah Islam pun dicap sebagai syair
masa lalu dan jiplakan dari perkataan seorang Nasrani.
Kehidupan mereka dipersempit.
Lapangan pekerjaan mereka dipersulit. Perdagangan mereka dirusak. Harta
kekayaan mereka dirampas. Beliau bersama kaum Muslim dan kerabat dekat beliau
dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib bahkan diboikot. Mereka tidak bisa
berjual beli. Mereka tidak disapa. Sapaan mereka tidak dijawab. Mereka tidak
dinikahi dan tidak bisa menikahi. Persediaan bahan makanan menjadi sangat sulit.
Kelaparan luar biasa mendera mereka.
Namun demikian, berbagai penderitaan
dan siksaan itu dijalani oleh Rasul saw. dan para sahabat dengan penuh
kesabaran sebagaimana yang Allah perintahkan:
]فَاصْبِرْ
كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلاَ تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ[
Bersabarlah kamu seperti para rasul yang
mempunyai keteguhan hati dan janganlah tergesa-gesa atas mereka (TQS al-Ahqaf [46]: 35).
Rasul saw. dan para sahabat terus
melanjutkan perjuangan dengan penuh kesabaran dan keyakinan, bahwa suatu saat pertolongan
Allah pasti datang. Beliau tetap istiqamah. Beliau tidak kepincut untuk
bersikap pragmatis meskipun penderitaan dan siksaan terus mendera. Bahkan
beliau menolak berbagai tawaran Quraisy yang sangat menggiurkan. Tawaran
Quraisy untuk menjadi orang paling kaya, menjadi raja, dan tanpa persetujuan
beliau Quraisy tidak akan melakukan apapun; semua beliau tolak. Rasul saw. tidak
bersiasat—atas nama ‘strategi’ dakwah—menerima tawaran itu demi menerapkan
Islam. Beliau malah meningkatkan intensitas seruan dan perjuangannya meski
konsekuensinya siksaan dan penderitaan semakin keras menimpa beliau dan para
sahabat.
Begitu lepas dari pemboikotan, paman
Rasul saw., Abu Thalib, meninggal. Dua atau tiga bulan kemudian istri beliau,
Khadijah, yang selama ini menjadi penunjang semangat dan dana bagi dakwah
beliau, juga wafat. Beliau pun sangat berduka. Di tengah-tengah kedukaan ini,
siksaan dan perilaku buruk kaum Quraisy terhadap beliau dan para sahabat justru
bertambah ganas.
Setelah itu Rasul saw. diperintah oleh
Allah SWT untuk menawarkan diri kepada kabilah-kabilah Arab lain. Hal itu
beliau awali dengan pergi ke Bani Tsaqif di Thaif. Beliau mendapat jawaban yang
buruk. Beliau diusir dan dilempari batu oleh orang awam dan anak-anak Thaif
akibat hasutan pemuka mereka. Beliau pun berdarah-darah.
Sepulang dari Thaif, Rasul saw. melanjutkan
upaya mencari nushrah (pertolongan) dengan mendatangi kabilah-kabilah
Arab, yaitu Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Bani Hanifah, Bani Muharib bin
Khashafah, Bani Fazarah, Bani Ghassan, Bani Murrah, Bani Sulaim, Bani ‘Abs,
Bani Nadhar, Bani al-Baka’, Bani Kindah, Bani Kalb, Bani al-Harits bin Ka’ab,
Bani Udzrah, Bani Hadhramah, Bani Syaiban dan Bani Hamdan. Sayang, semuanya menolak
seruan beliau.
Semua itu menjadikan Rasul saw. merasa
sangat sempit. Seolah tidak ada harapan keislaman dari Quraisy. Sikap Quraisy
malah semakin bengis dan ganas. Kabilah selain Quraisy pun menolak seruan
beliau. Mereka hanya menonton apa yang dilakukan Quraisy kepada beliau dan para
sahabat.
Dalam kondisi inilah Allah SWT menghendaki
untuk meng-Isra Mikraj-kan beliau dalam rangka menunjukkan kepada beliau
tanda-tanda kekuasaan-Nya:
]سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ[
Mahasuci Allah Yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid
al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepada
dia sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat (TQS al-Isra’ [17]:1).
Peristiwa Isra Mikraj ini menjadi
berita gembira yang membesarkan hati Rasul saw. dan kaum Muslim. Di dalamnya,
selain diturunkan kewajiban shalat lima waktu, juga sarat dengan isyarat Allah
SWT, bahwa tidak lama lagi pertolongan (nushrah)-Nya akan datang.
Faktanya, tidak lama setelah itu enam orang penduduk Yatsrib masuk Islam.
Mereka lalu mendakwahkan Islam di Madinah. Setahun berikutnya, sejumlah 12
orang Madinah datang dan melaksanakan Baiat Aqabah I. Mereka kembali disertai
Mushab bin Umair untuk bersama-sama mereka mendakwahkan Islam di Madinah.
Setahun berikutnya, sebanyak 75 orang
dari mereka, sebagai wakil penduduk Madinah, datang berhaji dan melaksanakan
Baiat Aqabah II, baiat penyerahan kekuasaan kepada Rasul saw. Tiga bulan
kemudian beliau hijrah ke Madinah. Segera setelah itu berdirilah Daulah Islam.
Negara Islam ini—yang pasca wafat Nabi saw. disebut dengan Khilafah—kemudian
terus meluas. Tidak lama kemudian Khilafah—yang dipimpin oleh Khulafaur
Rasyidin dan para khalifah setelah mereka—menjadi negara adidaya, yang
menebarkan rahmat dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia selama tidak
kurang dari 13 abad lamanya.
Renungan untuk Masa Kini
Umat Islam saat ini telah lama mengalami
berbagai macam kesulitan. Mereka terperangkap dalam kemunduran dan
keterpurukan. Mereka juga diekpsloitasi dan dizalimi. Mereka selalu ditekan dan
dijajah. Mereka dituduh sebagai teroris, sumber kerusakan, tidak beradab,
barbar, anti kemajuan, dan sebagainya. Para aktivis dakwahnya banyak yang dipersekusi.
Mereka diawasi, disiksa secara fisik, dipersempit kehidupannya, dipotong sumber
penghidupannya, dipenjarakan, diasingkan, dan lain-lain. Kondisi ini tidak
berbeda dengan kondisi Rasul saw. dan para sahabat pada masa lalu.
Menghadapi semua itu, tidak lain
kita harus meneladani Rasul saw. dan para sahabat, yakni tetap sabar dan istiqamah di
jalan dakwah. Sikap itulah yang akan mengundang datangnya pertolongan Allah SWT.
Oleh karena itu, kita harus terus menyerukan
Islam kepada masyarakat. Kita harus tetap mendorong mereka menerapkan syarah
Islam secara kâffah untuk mengatur kehidupan. Kita harus tetap berpegang
teguh dengan ide dan metode Islam. Kita tidak boleh menoleh ke idea, metode, solusi
dan sistem selain Islam. Kita harus membuang semua yang tidak berasal dari
Islam seperti sekularisme, demokrasi, HAM, liberalisme, sosialisme, dll.
Kita tidak boleh bersikap pragmatis.
Pasalnya, Rasul saw. pun tidak pernah bersikap pragmatis, baik dengan alasan
‘strategi’, ‘kemaslahatan’ atau alasan apapun. Beliau tetap istiqamah berpegang
pada fikrah (ide) dan tharîqah (metode) Islam.
Karena itu kita pun harus tetap istiqamah
dan berpegang teguh hanya dengan Islam. Hendaklah kita selalu ingat akan
peringatan Allah SWT:
]فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ[
Hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah (ketentuan) Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih
(TQS an-Nur [24]: 63).
Hendaklah kita harus selalu yakin, jika
kita tetap sabar dan istiqamah, insya Allah—tidak lama lagi—pertolongan Allah SWT
pasti datang. []
Hikmah:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan akan menukar keadaan
mereka—sesudah mereka berada dalam ketakutan—dengan rasa aman (TQS an-Nur [24]: 55). []
Tidak ada komentar