Mengenal Khilafah: Pengertian, Kewajiban, Pandangan Ulama, Pilar, Struktur, dan Metode Membangun Khilafah
Secara istilah kata Al-Khilafah memiliki
persamaan dengan Al-Imamah dan Imarotul Mukminin. Imam An-Nawawi dalam
kitabnya Al-Majmu’ Syarhu-l-Muhadzdzab mengatakan:
والإمامة والخلافة وإمارة
المؤمنين مترادفة
“Al-Imamah, Al-Khilafah,
dan Imarotul Mukminin adalah sinonim.” [An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19 hlm 191]
Definisi Khilafah yang
bersifat jaami’ (komprehensif) dan maani’ (protektif), menurut Qodhiy An-Nabhaani
adalah:
رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في
الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
“Kepemimpinan umum bagi seluruh
kaum muslim di dunia, guna menerapkan hukum-hukum syara’, dan mengemban dakwah
islamiah ke seluruh alam.” [Hizbut Tahrir, Al-Khilafah, hlm 1. Lihat juga Qodhiy
An-Nabhaani, Muqoddimah Ad-Dustur, hlm 118,
dan Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz 2 hlm 6]
Dari definisi Khilafah di
atas, dapat dipahami tiga poin penting :
Pertama, bahwa Khilafah
itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia.
Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti
kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi), atau seperti
kepemimpinan khusus pada bidang tertentu, misalnya kepemimpinan seorang Qadhi
Qudhat dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`). Dapat dipahami juga Khilafah
adalah institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah
bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas
negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.
Kedua, bahwa fungsi
pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan,
baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik
luar negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri
dari negara Khilafah.
Ketiga, bahwa fungsi
kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia.
Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi
sabilillah ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad
fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara
Khilafah.
Maka dari itu, dengan
keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal
sbb; pertama, persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan
Islam (lihat misalnya QS Ali ‘Imran : 103).Kedua, penerapan syariah Islam
secara menyeluruh (kaaffah), yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Al
Baqarah : 208; QS Ali ‘Imran : 85). Ketiga, penyebarluasan Islam sebagai
rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam
(lihat misalnya QS Al Anbiya` : 107).
Sebaliknya, dengan
tiadanya Khilafah, akan terjadi keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak
dalam 3 (tiga) hal sbb; Pertama, umat Islam akan terpecah belah dan
tercerai berai, seperti kenyataan sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara
lebih. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi
kafir penjajah atas umat Islam (QS An Nisaa` : 141). Kedua, syariah Islam
tidak dapat diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya sebagiannya saja. Hal ini
menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi hukum non Islam
(hukum jahiliyah) atas umat Islam (QS Al Maaidah : 50). Ketiga, karakter agama
Islam sebagai agama dan rahmat bagi seluruh umat manusia tidak dirasakan lagi.
Yang dirasakan adalah kebalikannya, yaitu penderitaan dalam segala bidang
akibat dominasi kapitalisme yang menindas dan menghisap umat manusia di seluruh
dunia. Kondisi buruk ini tak dibenarkan Islam (QS Thahaa : 123-125).
Kewajiban Menegakkan khilafah
Kewajiban Khilafah adalah
perkara yang jelas dalilnya berdasarkan Al Qur’an , as Sunnah, dan ijmak
Sahabat.
Pertama, Dalil Al Qur`an, antara lain firman
Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah
dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa` : 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari
ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil
Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil
Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah
SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata
lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri.
Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat
Islam adalah wajib hukumnya.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah
SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ
وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari
ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk
memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan
Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada
Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak
dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini
tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka
berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari
Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna
kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga
seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,
hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan
menegakkan Syariah Islam itu.
Dalil Al Qur`an lainnya,
adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah : 178), hudud (misal
had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al
Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya
seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk
wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat
tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Kedua, dalil dari
as-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah
berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ
عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan
menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja
yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti
kematian jahiliyah” (HR. Muslim)
Nabi saw telah mewajibkan
kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati
orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati
seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali
kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di
atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu
terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Imam muslim meriwayatkan
dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ
“Seorang imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang
akan berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung” (HR.
Muslim)
Imam Muslim telah
meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : ” aku mengikuti
mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia
menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ:
فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi,
setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan
sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka
banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah
kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta
pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan
memeliharanya” (HR. Muslim)
Di dalam hadits-hadits
ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah yakni perisai. Sifat yang
diberikan Rasul saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan)
yang di dalamnya terdapat pujian atas eksistensi seorang imam. Ini merupakan tuntutan.
Karena pemberitahuan dari Allah dan Rasul saw, jika mengandung celaan merupakan
tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Dan jika mengandung pujian maka
merupakan tuntutan untuk melakukan. Dan jika aktivitas yang dituntut
pelaksanaannya memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara’, atau pengabaiannya
memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat
tegas. Dalam hadits ini juga terdapat pemberitahuan bahwa orang yang mengurus
kaum muslim adalah para Khalifah. Maka hadits ini merupakan tuntutan mengangkat
Khalifah. Terlebih lagi, Rasul saw memerintahkan untuk mentaati para Khalifah
dan memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya dalam jabatan khilafahnya.
Ini artinya perintah untuk mengangkat Khalifah dan menjaga keberlangsungan
khilafahnya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebutnya. Imam
Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda :
وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ
وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ
يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
“Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah
memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya
sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut
kekuasaannya maka penggallah orang lain itu” (HR. Muslim)
Perintah mentaati imam
merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah memerangi orang yang
hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas atas
wajibnya kelangsungan eksistensi Khalifah yang satu.
Ketiga, dalil berupa
ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas
keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau
wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah,
lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin
Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya
pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu
mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau.
Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para sahabat
adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya,
sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah,
sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam
penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu
mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada
waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam
Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul
dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama
dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah
Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih
menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu
tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada
mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak
sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka
berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak
berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika
Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak
sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat
Khalifah.
Pandangan Ulama tentang Wajibnya Khilafah
Berikut ini pandangan beberapa Ulama ahlus sunnah wal jama’ah lintas madzhab tentang
wajibnya Khilafah.
·
Imam ‘Alauddin al-Kasaaniy dari madzhab Hanafi:
… ولأن نصب
الإمام الأعظم فرض بلا خلاف بين أهل الحق ولا عبرة بخلاف بعض القدرية لإجماع
الصحابة رضي الله عنهم على ذلك ولمساس الحاجة إليه لتقيد الأحكام وإنصاف المظلوم
من الظالم وقطع المنازعات التي هي مادة الفساد وغير ذلك من المصالح التي لا تقوم
إلا بإمام
“… dan dikarenakan pengangkatan
Imam A’zham (kholifah) adalah fardhu tanpa perbedaan diantara Ahlul-Haqq
(pengikut kebenaran), tidak diperhitungkan perbedaan kalangan Qadariyyah
dikarenakan ijma’ shahabat ra atas nya, dan besarnya kebutuhan terhadapnya
karena keterikatan hukum-hukum syara’, menolong orang yang terzhalimi dari yang
menzhalimi, menutuskan persengketaan yang merupakan sumber kerusakan, dan
kemaslahatan-kemaslahatan lainnya yang tidak bisa tegak tanpa keberadaan
seorang Imam.”[‘Alauddin al-Kasaniy, Badai’ ash-Shonai’ fii Tartib
asy-Syarai’, juz 14 hlm 406]
·
Imam Al Qurthubi dari madzhab Maliki:
هذه الآية أصل في نصب إمام
وخليفة؛ يسمع له ويطاع؛ لتجتمع به الكلمة وتنفذ به أحكام الخليفة، ولا خلاف في
وجوب ذلك بين الأمة، ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم
“Ayat ini (Al-Baqarah: 30)
merupakan landasan bagi pengangkatan seorang Imam dan Kholifah yang didengarkan
dan ditaati, agar suara kaum muslim bersatu, dan diterapkannya hukum-hukum
kholifah.Tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam dan para Ulama tentang
wajibnya Khilafah, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Ashamm, yang mana dia
benar-benar tuli terhadap syari’at.” [Al-Qurthubi
Al-Malikiy, Al-Jami’ li Ahkami Al-Quran, juz 1
hlm 265]
·
Imam An-Nawawi dari madzhab Asy-Syaafi’i:
وأجمعوا على أنه يجب على
المسلمين نصب خليفة ووجوبه بالشرع لا بالعقل ، وأما ما حكي عن الأصم أنه قال : لا
يجب ، وعن غيره أنه يجب بالعقل لا بالشرع فباطلان
“… dan mereka (para ulama)
bersepakat bahwa wajib atas kaum muslim untuk mengangkat seorang kholifah, dan
wajibnya berdasarkan nash syara’ bukan berdasarkan logika. Adapun yang
dikisahkan dari Al-Ashamm bahwa dirinya berkata: tidak wajib, dan (yang
dikisahkan) dari selainnya (yang mengatakan) bahwa wajibnya berdasarkan logika
bukan berdasarkan nash syara’, maka keduanya adalah pendapat yang
bathil.” [An-Nawawi, Syarh Shohih Muslim,
juz 6 hlm 291]
·
Imam Umar bin Ali bin Adil dari madzhab Hambali:
هذه الآية (البقرة 30) دليلٌ
على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام
الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة ، إلاّ ما روي عن الأصَمّ وأتباعه
أنها غير واجبةٍ في الدين
“Ayat ini (al-baqarah 30)
merupakan dalil atas wajibnya mengangkat imam dan kholifah yang didengarkan dan
ditaati, guna persatuan suara kaum muslimin, dan diterapkannya hukum-hukum
kholifah. Tidak ada perbedaan dalam wajibnya hal tersebut diantara para ulama,
kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Ashamm dan para pengikutnya, bahwa ia
(khilafah) tidak wajib dalam agama.” [Umar bin Ali bin
Adil, Tafsir al-Lubab fii ‘Ulumi al-Kitab, juz 1 hlm 204]
·
Abdurrohman Al-Jaziri:
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى
على أن الإمامة فرض ، وأنه لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين ويُنصف
المظلومين من الظالمين .
“Para Imam (An-Nu’man bin Tsabit,
Malik bin Anas, Muhammad bin Idris, dan Ahmad bin Hambal) rahimahumullaah telah
bersepakat bahwa Imamah adalah wajib, bahwa harus ada seorang Imam bagi kaum
muslim yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama, dan menolong mereka yang terzhalimi
dari orang-orang yang menzhalimi.” [Abdurrohman
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahibi al-‘Arba’ah,
juz 5 hlm 308]
·
Ibn Hazm dari madzhab Adz-Dzahiri:
اتفق جميع أهل السنة وجميع
المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الامة واجب عليها
الإنقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي آتى بها
رسول الله صلى الله عليه وسلم ، حاشا النجدات من الخوارج
“Telah bersepakat seluruh Ahli
Sunnah, seluruh Murji’ah, Seluruh Syi’ah, Seluruh Khawarij atas wajibnya
Imamah, dan bahwa wajib atas umat untuk tunduk terhadap seorang Imam yang adil,
yang menegakkan hukum-hukum Alloh swt di tengah-tengah mereka, serta mengurus
urusan-urusan mereka dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa Rosululloh saw,
kecuali kalangan An-Najdaat dari kelompok kawarij.” [Ibn
Hazm, Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa An-Nihal, juz 4 hlm
72]
Tidak hanya wajib,
khilafah juga merupakan perkara penting dan mendesak, sehingga para sahabat
lebih mendahulukannya daripada menunaikan kewajiban memakamkan jenazah Nabi
Muhammad saw. Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy menyatakan:
اعلم أيضا أن الصحابة رضوان
الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل
جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله واختلافهم في التعيين لا يقدح
في الإجماع المذكور
“Ketahuilah juga bahwa para
sahabat ra telah bersepakat bahwa pengangkatan seorang Imam setelah berakhirnya
masa kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban yang
terpenting, dimana mereka menyibukkan diri dengannya dari memakamkan Rosululloh
saw. Sedangkan perbedaan mereka dalam penentuan (siapa kholifahnya) tidak
membatalkan ijma’ yang telah disebutkan.” [Ibnu
Hajar al-Haitamiy, Ash-Showa’iq Al-Muhriqoh,
juz 1 hlm 25]
Terakhir, ada baiknya
merenungkan apa yang dilantunkan Hanzhalah bin Ar-Rabi’ ra, sahabat sekaligus
juru tulis Nabi saw, saat beliau menyaksikan konspirasi yang dilakukan sebagian
penduduk Mesir, Kufah, dan Bashrah dalam rangka melengserkan kholifah Utsman
bin ‘Affan ra dari kekhilafahan.
عجبت لما يخوض الناس فـيه *
يرومون الخلافة أن تزولا
ولو زالت لزال الخير عنـهم *
ولاقوا بعدها ذلا ذلـيلا
وكانوا كاليهود أو النصارى *
سواء كلهم ضلوا السبيلا
“Aku heran dengan apa
yang menyibukkan orang-orang ini # mereka berharap agar khilafah segera lenyap”
“Jika ia sampai lenyap
sungguh akan lenyap pula semua kebaikan dari mereka # dan mereka akan menjumpai
kehinaan yang amat sangat.”
“Adalah
mereka kemudian seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani # mereka semua sama-sama
berada di jalan yang sesat.”
[Ibnu Al-Atsiir, Al-Kamil fi At-Tarikh, juz 2 hlm 17]
Empat Pilar Negara Khilafah
Sistem Khilafah tegak di
atas empat pilar: (1) As-Siyaadah (kedaulatan)
berada di tangan syara’; (2) As-Sulthon (kekuasaan)
berada di tangan rakyat; (3) Mengangkat satu orang Kholifah fardhu atas seluruh
kaum Muslim; (4) Hanya Kholifah yang berhak mengadopsi hukum syariah [Qodhiy
An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur, hlm 109].
Jika salah satu saja dari empat pilar tersebut tiada, maka suatu pemerintahan
tidak bisa disebut sebagai pemerintahan Islam [Qodhiy An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hlm 201].
1) As-Siyaadah (kedaulatan)
berada di tangan syara’
Kedaulatan adalah
otoritas absolut tertinggi, sebagai satu-satunya pemilik hak untuk menetapkan
hukum segala sesuatu dan perbuatan [Al-Kholidi, Qowaid
Nizhom al-Hukm fi al-Islam, hlm 24]. Berdasarkan firman Alloh swt:
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ
مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ [الأنعام:
57]
“Katakanlah: Sesungguhnya aku
berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu
mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan
kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Alloh. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS.
Al-An’am: 57)
Karena penetapan hukum
hanya milik Alloh swt semata, maka peran penguasa (kholifah) dalam sistem
pemerintahan Islam hanya sebagai pelaksana, tanpa memiliki wewenang sedikitpun
untuk membuat hukum. Dan haram hukumnya bagi penguasa untuk memberhentikan
pelaksanaan hukum-hukum Islam, untuk kemudian berhukum dengan selainnya. Imam
Ibnu Katsir berkata:
ينكر تعالى على من خرج عن حكم
الله المحكم المشتمل على كل خير ، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء
والأهواء والاصطلاحات ، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله ، … فلا يحكم
بسواه في قليل ولا كثير ، قال الله تعالى : ﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ ﴾ أي : يبتغون ويريدون ، وعن حكم الله يعدلون . ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ
اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾ أي : ومن أعدل من الله في حكمه لمن عَقل عن
الله شرعه ، وآمن به وأيقن وعلم أنه تعالى أحكم الحاكمين .
“Alloh mengingkari siapa-siapa
(penguasa) yang tidak menerapkan hukum Alloh swt yang jelas, konprehensif
meliputi setiap kebaikan dan mencegah dari setiap keburukan, serta berpaling
kepada selainnya yang berupa pendapat, hawanafsu, dan istilah-istilah yang
dibuat oleh manusia tanpa bersandar kepada syari’at Alloh swt, … maka tidak
boleh berhukum dengan selain hukum Alloh swt, baik sedikit maupun banyak. Alloh
swt berfirman (yang artinya): “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki”,
atau: yang mereka kehendaki dan mereka mau, sedangkan dari hukum Alloh swt
mereka berpaling. “dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Alloh
bagi orang-orang yang yakin?” atau: siapakah yang lebih adil syari’atnya
daripada hukum Alloh swt bagi siapa-siapa yang berfikir tentang Alloh swt,
mengimani-Nya, dan yakin serta tahu bahwa Alloh swt adalah seadil-adilnya
hakim.” [Al-Marja’ As-Sabiq, juz 3 hlm 131]
2) As-Sulthon (kekuasaan)
berada di tangan rakyat
Bahwa pengangkatan
seorang kepala negara (kholifah) dalam pemerintahan Islam tidak lain adalah
berdasarkan pilihan umat dengan metode bai’at. Baik dari mayoritas umat, atau
yang mewakili mereka, yaitu ahlu al-halli wa al-‘aqdi;
dan kholifah hanya mengambil kekuasaan melalui bai’at umat ini [Qodhiy
An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur, hlm 111; dan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hlm
20]. Diantara yang menggambarkan bahwa kholifah dipilih oleh umat adalah hadits
shahih dari Abu Hurairah ra berikut.
عن النبي صلى الله عليه وسلم
قال كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي
وسيكون خلفاء فيكثرون قالوا فما تأمرنا قال فوا ببيعة الأول فالأول أعطوهم حقهم
فإن الله سائلهم عما استرعاهم
Dari Nabi saw beliau bersabda:
Adalah Bani Israil mereka diurus oleh para nabi-nabi. Setiap kali seorang nabi
meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi
setelahku, dan yang akan ada adalah para kholifah dalam jumlah yang banyak.
Para sahabat bertanya: lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami?, Nabi
menjawab: “Tunaikanlah bai’at bagi yang pertama dan pertama, berikanlah kepada
mereka hak-hak mereka, sungguh mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak
oleh Alloh swt atas apa yang mereka urus.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
3) Mengangkat satu orang Kholifah
fardhu atas seluruh kaum Muslim
Jumlah kholifah di setiap masa tidak boleh lebih dari satu.
Berdasarkan hadits shahih riwayat Muslim berikut.
عن أبي سعيد الخدري قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما
Dari Abu Sa’id Al-Khudri,
beliau berkata: Rosululloh saw bersabda: “Jika dibaiat dua orang kholifah maka
bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR.
Muslim)
Imam An-Nawawi (w. 676 H) berkata:
واتفق العلماء على أنه لا يجوز
أن يعقد لخليفتين في عصر واحد ، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا
“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua kholifah
di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.” [An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz 12 hlm 232]
Imam As-Sinqithi (w. 1393 H) menyatakan:
قول جماهير العلماء من المسلمين
: أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا ، وأن لا يتولى على قطر من
الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه مسلم في صحيحه من حديث
أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا بويع
لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما .
“Pendapat jumhur ‘ulama: Bahwa
berbilangnya kholifah adalah tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan
hendaknya tidak berkuasa atas wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali
umara’ yang diangkat oleh kholifah, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan
hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, bahwa
Rosululloh saw bersabda: “jika dibai’at dua kholifah maka bunuhlah yang
terakhir (diba’at) di antara keduanya.” [As-Sinqithi, Adhwa’ Al-Bayan fii Idhoh Al-Quran bi Al-Quran, juz 3 hlm 39]
4) Hanya Kholifah yang berhak
mengadopsi hukum syariah
Satu-satunya yang berhak
mengadopsi hukum syari’ah untuk kemudian diterapkan atas kaum muslim adalah
kholifah, berdasarkan ijma’ shahabat.
Misalnya, saat pemerintahan Abu Bakar, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak
tiga kali dihukumi talak satu. Namun, saat pemerintahan Umar bin Al-Khaththab,
beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali dihukumi talak tiga. Tidak
ada satupun sahabat Nabi saw yang mengingkari tindakan keduanya. Dengan
demikian, telah terjadi Ijma’ Shahabat dalam
dua perkara. Pertama: Kholifah berhak mengadopsi dan menetapkan hukum syariah
yang diberlakukan secara umum kepada seluruh rakyat. Kedua: wajib atas rakyat
menaati Kholifah dalam hukum-hukum syariah yang telah diberlakukan [Qodhiy
An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur, hlm 17].
Struktur Negara Khilafah
Penting bagi kaum Muslim memahami struktur Negara Khilafah yang diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah, dan yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Berikut adalah struktur negara khilafah baik kekuasaan maupun administrasi:
1. Khalifah.
Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan syariah. Sebab, Islam menjadikan hak pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itulah umat mengangkat orang yang mewakili mereka dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan syariah yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka (An-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 47; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20).
Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) dan aqwâl (sabda) Rasulullah saw. serta Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah pengganti Rasulullah saw. setelah wafatnya. Bahkan Sahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman Rasulullah saw (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 114).
2. Mu’âwinûn at-Tafwîdh.
Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat oleh Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Mereka mendapat mandat untuk mengatur berbagai urusan serta melaksanakannya menurut pendapat dan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan syariah (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 55).
Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (Imam/Khalifah), Allah menjadikan bagi dirinya seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar. Jika ia lupa, wazir itu akan mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazir itu akan membantunya. Jika Allah menghendaki atas amir itu selain yang demikian, Allah menjadikan baginya wazîr yang jahat/buruk. Jika ia lupa, wazir itu tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazir itu tidak membantunya.” (HR at-Tirmidzi).
3. Wuzarâ’ at-Tanfîdz.
Wuzarâ’ at-Tanfîdz adalah para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi. Pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin mereka disebut al-kâtib (sekretaris). Tugas mereka hanyalah tugas administrasi, bukan tugas pemerintahan, yakni membantu Khalifah dalam urusan implementasi kebijakan, pendampingan, dan penyampaian kebijakan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 115; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 64).
Di antara dalilnya adalah hadis dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw. Telah menyuruh dia untuk mempelajari tulisan Yahudi hingga ia bisa menuliskan surat-surat Nabi (untuk kaum Yahudi), dan membacakannya ketika kaum Yahudi mengirim surat kepada beliau (HR al-Bukhari).
4. Wali (Gubernur).
Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi). Dengan kata lain, wali adalah penguasa negara di tingkat propinsi (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 73).
Dalilnya di antaranya adalah hadis dari Burdah, “Rasulullah s.aw mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Masing-masing diutus untuk memimpin sebuah wilayah. Yaman dibagi menjadi dua wilayah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
5. Amîrul Jihâd.
Departemen Peperangan atau Pertahanan (Dâirah al-Harbiyah) merupakan salah satu instansi negara. Kepalanya disebut Amîr al-Jihâd dan tidak disebut Mudîr al-Jihâd (Direktur Jihad). Hal itu karena Rasulullah saw. menamakan komandan pasukan sebagai amir (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 86).
Di antara dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Yang menjadi amir pasukan (Perang Mu’tah) adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur maka Ja‘far bin Abi Thalib; jika ia gugur maka Abdullah bin Rawahah; jika ia gugur maka hendaklah kaum Muslim memilih salah seorang laki-laki di antara mereka lalu mereka jadikan sebagai amir yang memimpin mereka.”
6. Departeman Keamanan Dalam Negeri.
Departeman Keamanan Dalam Negeri adalah sebuah departemen yang dipimpin oleh kepala polisi. Tugasnya adalah menjaga keamanan di dalam Negara Islam. Namun, dalam kondisi tertentu, yakni ketika kepolisian tidak mampu, bisa ditangani oleh militer dengan izin Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94).
Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki kedudukan sebagai kepala kepolisian, dan ia termasuk di antara para amir.” (HR al-Bukhari).
7. Departemen Luar Negeri.
Departemen Luar Negeri adalah departemen yang mengurusi seluruh urusan luar negeri terkait hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara asing, apapun jenis perkara dan bentuk hubungannya; baik perkara yang berkaitan dengan aspek politik dan turunannya, ataupun perkara yang berkaitan dengan aspek ekonomi maupun ekonomi. Semua perkara tersebut diurusi oleh Departemen Luar Negeri, karena semua itu merupakan kepentingan hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara lain (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).
Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) Rasulullah saw. Beliau—sebagai kepala negara—melakukan berbagai hubungan luar negeri dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy, sebagaimana beliau juga berunding langsung dengan delegasi kaum Quraisy. Beliau pun mengirim sejumlah utusan kepada para raja, sebagaimana beliau juga pernah menerima utusan dari para raja dan pemimpin negara. Beliau pernah menjalin berbagai kesepakatan dan perjanjian damai (bersifat sementara). Hal yang sama dilakukan juga oleh para khalifah setelah beliau. Mereka menjalin hubungan politik dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Para Khalifah bisa melakukan sendiri semua aktivitas tersebut atau mengangkat wakil untuk melakukannya. Hal ini menunjukkan perlunya ada satu jabatan yang akan mengurusi semua urusan tersebut (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).
8. Departemen Perindustrian.
Departemen Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua perindustrian, baik terkait industri berat maupun industri ringan; baik berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Semua industri dengan berbagai jenisnya itu harus dibangun dengan berpijak pada politik perang (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106).
Dalilnya adalah: Pertama, al-Quran (Al-Anfal (8):60) yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyiapkan kekuatan yang membuat semua musuh merasa ketakutan. Kedua, as-Sunnah. Rasulullah saw. pernah memerintahkan pendirian industri manjaniq (senjata pelontar) dan dababah (semacam tank dari kayu). Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, dari Makhul, berkata: “Sesungguhnya Nabi saw menggempur penduduk Thaif dengan manjaniq selama empat puluh hari.”
Ketiga, kaidah fikih “Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib[un] (Suatu kewajiban tidak akan terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu hukumnya wajib).” Artinya, perintah menyiapkan kekuatan itu akan terlaksana dengan sempurna jika ada industri persenjataan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 82).
9. Peradilan.
Peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan di antara sesama rakyat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah (rakyat), dan mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan individu di dalam struktur pemerintahan, baik ia seorang penguasa, pegawai maupun pejabat pemerintah di bawah Khilafah (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109).
Peradilan ini bisa ditangani sendiri oleh Khalifah atau Khalifah mengangkat orang lain untuk menjalankannya. Kedua hal ini, masing-masing ada dalilnya dalam as-Sunnah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117). Bahkan terdapat Ijmak Sahabat tentang ketetapan mengangkat para qadhi (hakim). Ibnu Qudamah berkata, “Kaum Muslim (para Sahabat) telah berijmak atas pensyariatan mengangkat para qadhi (hakim).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/373).
10. Kemaslahatan Umum.
Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) adalah struktur pelaksana pemerintahan, yakni badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat umum (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).
Dalilnya adalah perbuatan (af’âl) Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dalam mengatur negara. Saat itu urusan administrasi diurus dengan penuh sistematik. Untuk itu perlu ada struktur guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh kewajiban negara. Oleh karena itu, perlu adanya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini kembali pada ijtihad dan kebijakan Khalifah mengenai apa dan berapa jumlah Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) yang dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi kepentingan (maslahat) masyarakat umum (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).
11. Baitul Mal (Kas Negara).
Baitul Mal (Kas Negara) merupakan sebuah badan yang bertanggung jawab atas setiap pendapatan dan belanja negara yang menjadi hak kaum Muslim (Zallum, Al-Amwâl fi Dawlah al-Khilâfah, hlm. 15). Baitul Mal berada di bawah pengawalan Khalifah secara langsung atau di bawah kawalan orang yang dilantik untuk mengurusinya. Rasulullah saw. kadang-kadang menyimpan, memungut dan membagikan sendiri harta kaum Muslim; kadang-kadang beliau mengangkat orang lain untuk menanganinya. Begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin sesudah beliau, yang kadang-kadang mengurusi sendiri urusan Baitul Mal, dan kadang-kadang mengangkat orang lain untuk mengurusinya.
Dalil tentang Baitul Mal ini sudah cukup banyak dan masyhur di dalam hadis dan Ijmak Sahabat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 120; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 135).
12. Penerangan.
Penerangan merupakan perkara penting bagi dakwah dan negara. Lembaga Penerangan tidak termasuk badan yang melayan kepentingan masyarakat umum, tetapi kedudukannya berhubungan langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang mandiri. Dalil dalam hal ini adalah al-Quran (QS an-Nisa’ [4]: 83) dan as-Sunnah, di antaranya hadis penuturan Ibn Abbas mengenai pembebasan Makkah: “Sungguh, tidak ada kabar sama sekali bagi kaum Quraiys. Karena itu, tidak ada kabar kepada mereka tentang Rasulullah saw., dan mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Beliau.” (HR Hakim dalam Al-Mustadrak).
Ini menunjukkan bahwa Lembaga Penerangan yang terkait dengan kemanan negara berhubung langsung dengan Khalifah atau struktur yang didirikan untuk tujuan itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 143).
13. Majelis Umat.
Majlis Umat (Majelis Syura) adalah majelis yang terdiri dari para individu yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah dengan meminta masukan mereka dalam berbagai urusan. Majelis ini juga mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap Khalifah dan semua pegawai negara.
Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw. yang sering meminta pendapat sejumlah orang di antara kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum masing-masing; diambil dari perbuatan (af’âl) khusus Rasulullah saw. terhadap beberapa orang tertentu di kalangan Sahabat untuk meminta pendapatnya; serta diambil dari perbuatan para Khulafaur Rasyidin yang sering meminta pendapat para ulama dan ahli fatwa di kalangan mereka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 147).
Khilafah Pasti Berdiri Kembali
Khilafah akan tegak kembali, dengan izin Allah. Mengingat, tegaknya kembali Kilafah adalah janji Allah SWT dan busyrā (kabar gembira dari) Rasul-Nya saw. Allah SWT berfirman:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Siapa saja yang tetap kafir sesudah janji itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS an-Nur [24]: 55).
Rasulullah saw. pernah bersabda:
«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ»
“Di tengah-tengah kalian terdapat masa Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan yang zalim yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan diktator yang menyengsarakan, yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Selanjutnya akan muncul kembali masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian.” Setelah itu Beliau diam. (HR Ahmad).
Metode Dakwah Mendirikan Khilafah
Mendirikan Khilafah
adalah sebuah aktivitas yang harus ditetapkan berdasarkan dalil syara’, karena
hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’. Apabila ditelusuri
dengan cermat, maka akan ditemukan di dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah
bentuk-bentuk aktivitas Rosululloh saw dalam rangka mendirikan pemerintahan
Islam untuk pertama kalinya, yaitu aktivitas dakwah Beliau selama periode Mekah
sebelum tegaknya Daulah Islamiyyah pertama di Madinah Al-Munawwaroh.
Sirah Nabawiyyah selama
berasal dari riwayat yang shahih maka terhitung dalil syara’ dan bisa digunakan
sebagai hujjah (argumen). Ia tak ubahnya seperti hadits
Nabi saw yang lain, karena di dalamnya juga mengandung perkataan, perbuatan,
dan persetujuan Rosululloh saw [Qodhiy An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz 1 hlm 352]. Selain juga menjadikan Beliau sebagai
suri tauladan adalah perintah Alloh swt.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب: 21]
“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Alloh.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 21)
Selama periode Mekah, aktivitas dakwah Rosululloh saw terbagi
menjadi tiga fase:
1) Marhalah At-Tatsqiif (fase
pengkaderan)
Yaitu Rosululloh saw
mengkader para sahabat yang pertama masuk Islam, untuk dipersiapkan menjadi
pengemban dakwah islamiah. Proses ini dilakukan secara rahasia di rumah
Al-Arqom bin Abi Al-Arqom ra, dan berlangsung selama tiga tahun pertama.
2) Marhalah Al-Mu’amalah ma’a
Al-Ummah (fase interaksi dengan umat)
Yaitu Rosululloh saw dan
para sahabat Beliau, memulai dakwah secara terang-terangan di tengah-tengah
masyarakat. Melakukan ash-shiraa’ al-fikri (pergolakan
pemikiran) dan al-kifaah as-siyaasi(perjuangan
politik). Fase ini dimulai sejak turunnya perintah Alloh swt untuk mendakwahkan
Islam secara terang-terangan.
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ [الحجر: 94]
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS.
Al-Hijr [15]: 94)
3) Tholab An-Nushroh (mencari dukungan ahli nushroh)
Yaitu usaha Rosululloh
saw mendatangi kabilah-kabilah Arab untuk menyeru mereka kepada Islam, dan
menawarkan dirinya untuk dilindungi dalam mendakwahkan Islam sarta diberi
kekuasaan penuh untuk menerapkannya atas umat Islam. Aktivitas ini dilakukan
sejak turunnya perintah Alloh swt kepada Rosul-Nya untuk mencari dukungan Ahli
Nushroh.
عن ابن عباس : حدثنى على بن أبى
طالب قال : لما أمر الله نبيه أن يعرض نفسه على قبائل العرب خرج و أنا معه و أبو
بكر إلى منى ، حتى دفعنا إلى مجلس من مجالس العرب
Dari Ibnu Abbas ra, Ali bin Abi
Thalib ra berkata kepadaku: Tatkala Alloh swt memerintahkan Nabi-Nya saw untuk
menawarkan dirinya (untuk dilindungi) kepada kabilah-kabilah Arab, maka Beliau
keluar (untuk itu) bersamaku dan Abu Bakar ra ke Mina, hingga mendorong kami ke
majlis di antara majlis-majlis Arab. (HR. Al-Hakim, Abu Nu’aim, dan
Al-Baihaqi – hadits Hasan)
Metode mendirikan
pemerintahan Islam melalui Tholabu An-Nushroh ini merupakan wahyu dari Alloh swt yang sifatnya wajib.
Tidak karena semata-mata dilakukan oleh Rosululloh saw, tapi lebih daripada itu
sikap mulaazamah Beliau dalam menjalankannya. Tercatat
dalam kitab-kitab sirah belasan bahkan menurut sebagian riwayat mencapai 21
nama kabilah yang pernah didatangi oleh Rosululloh saw untuk tujuan tersebut.
Diantaranya riwayat dari Az-Zuhri yang dikutip oleh Ibnu Qoyyim berikut.
وكان ممن يسمى لنا من القبائل
الذين أتاهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعاهم وعرض نفسه عليهم بنو عامر بن
صعصعة ومحارب بن حصفة وفزارة وغسان ومرة وحنيفة وسليم وعبس وبنو النضر وبنو البكاء
وكندة وكلب والحارث بن كعب وعذرة والحضارمة فلم يستجب منهم أحد
Dan diantara yang disebutkan
kepada kami dari nama kabilah-kabilah yang didatangi Rosululloh saw, Beliau
seru mereka, dan Beliau tawarkan diri beliau kepada mereka, adalah: Bani Amir
bin Sha’sha’ah, Muharib bin Hashafah, Fazarah, Ghassan, Murrah, Hanifah,
Sulaim, ‘Abas, Bani An-Nadhr, Bani Al-Baka’, Kindah, Kalb, Al-Harits bin Ka’ab,
‘Adzrah, dan Al-Hadharimah. Dan tidak satupun dari mereka yang menerima (tawaran
Nabi saw tersebut)” [Ibnu Qoyyim
Al-Jauziyyah, Zad Al-Ma’ad, juz 3 hlm 38]
Beliau melakukan Tholabun Nushroh tersebut baik dalam kondisi
lapang maupun sempit sejak setelah wafatnya Abu Thalib hingga an-Nushroh (pertolongan) benar-benar turun melalui
tangan suku Aus dan Khozroj di Yatsrib. Dalam ‘ilmu Ushul Fiqh, sikap mulaazamah semacam ini merupakan qariinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa suatu
aktivitas hukumnya wajib [al-‘Alim ‘Atho bin Kholil, Taisir Al-Wushul ila Al-Ushul, hlm 21].
Aktivitas Tholabun Nushroh bukan semata-mata menyeru suatu
kabilah (melalui kepala kabilahnya) untuk masuk Islam saja tanpa ada unsur
politik (kekuasaan) sama sekali. Digambarkan di beberapa riwayat ada
kabilah-kabilah tertentu yang melakukan negosiasi dari tawaran Rosululloh saw
tersebut. Diantaranya adalah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah berikut ini.
عن الزهري أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم أتى بني عامر بن صعصعة فدعاهم إلى الله عز وجل وعرض عليهم نفسه
فقال له رجل منهم – يقال له بيحرة بن فراس – : والله لو أني أخذت هذا الفتى من
قريش ، لأكلت به العرب ، ثم قال أرأيت إن نحن بايعناك على أمرك ، ثم أظهرك الله
على من خالفك ، أيكون لنا الأمر من بعدك ؟ قال الأمر إلى الله يضعه حيث يشاء فقال
له أفتهدف نحورنا للعرب دونك ، فإذا أظهرك الله كان الأمر لغيرنا لا حاجة لنا
بأمرك ، فأبوا عليه
Dari Az-Zuhri, bahwa
Rosululloh saw suatu ketika mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah, kemudian
menyeru mereka kepada Alloh swt dan menawarkan diri Beliau kepada mereka, lalu
berkata seorang laki-laki dari mereka – dikenal dengan nama Baiharah bin Faras -: Demi Alloh jika aku mengambil pemuda ini dari tangan suku Quraisy
niscaya aku akan memakan (memerangi) bangsa Arab, kemudian dia
melanjutkan: Bagaimana pendapatmu, jika kami membai’atmu
atas perkaramu (yang kamu tawarkan) itu kemudian Alloh swt memenangkanmu dari
siapa-siapa yang menentangmu, apakah sepeninggalmu perkara tersebut (kekuasaan)
menjadi milik kami?, Nabi saw menjawab: “Perkara tersebut kembali kepada Alloh swt, Dia akan memberikannya
kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya”. Kemudian dia berkata: Apakah engkau hendak mengorbankan leher-leher kami bagi suku-suku
Arab demi melindungimu, tapi jika Alloh memenangkanmu nanti perkara tersebut
diberikan kepada selain kami, kami tidak butuh pada perkaramu itu,
maka mereka enggan menerima tawaran tersebut. [Ibnu Hisyam, As-Siroh An-Nabawiyyah, juz 1 hlm 424-425]
Apabila Tholabun Nushroh dilakukan terhadap ahlul quwwah (pemilik kekuatan) muslim dari
kalangan penguasa atau militer, maka bentuknya bukan seruan untuk masuk Islam,
melainkan seruan untuk taat kepada Alloh swt dengan menerapkan hukum-hukumNya
secara menyeluruh, mewujudkan kembali kehidupan Islami, dan seruan untuk
melindungi dakwah islamiyyah ke seluruh penjuru dunia.
Kewajiban Mendirikan Jama’ah dan Kewajiban Berjama’ah
Mendirikan jama’ah yang
aktivitasnya adalah dakwah kepada Islam, amar makruf dan nahi munkar, hukumnya
adalah fardhu kifayah, berdasarkan:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [آل عمران: 104]
“Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Ali ‘Imraan [3]: 104)
والمقصود من هذه الآية أن
تكون فرْقَة من الأمَّة متصدية لهذا الشأن، وإن كان ذلك واجبا على كل فرد من الأمة
بحسبه
“Maksud dari ayat ini,
hendaknya ada suatu kelompok dari umat Islam yang konsisten melaksanakan tugas
ini (menyeru kepada Islam, memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan mencegah
daripada yang munkar), meskipun hal tersebut juga wajib bagi setiap individu muslim.” [Ibnu
Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, juz 2 hlm 91]
Demikian pula bergabung
dengan jama’ah dakwah, hukum asalnya fardhu kifayah. Namun tatakala kewajiban
menegakkan Khilafah tidak bisa dilakukan secara individu, karena secara faktual
sistem pemerintahan tidak bisa dijalankan oleh seorang diri, maka wajib
hukumnya memperjuangkannya secara berjama’ah. Dan saat itu bergabung dengan
jama’ah dakwah dalam rangka menegakkan Khilafah menjadi wajib atas setiap
muslim hingga khilafah benar-benar berdiri, menurut kaidah:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو
واجب
“Sesuatu
yang kewajiban tidak bisa sempurna tanpanya maka dia hukumnya wajib”
Wallohu ’Azza wa Jalla A’lam []
Tidak ada komentar