Penjelasan tentang Khilafah dari Ustadz Syamsuddin Ramadhan
Mengenal
Khilafah
Pengertian Khilafah
Secara istilah kata Al-Khilafah memiliki
persamaan dengan Al-Imamah dan Imarotul Mukminin. Imam An-Nawawi dalam
kitabnya Al-Majmu’ Syarhu-l-Muhadzdzab mengatakan:
والإمامة والخلافة وإمارة
المؤمنين مترادفة
“Al-Imamah, Al-Khilafah,
dan Imarotul Mukminin adalah sinonim.” [An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19 hlm 191]
Definisi Khilafah yang
bersifat jaami’ (komprehensif) dan maani’ (protektif), menurut Qodhiy An-Nabhaani
adalah:
رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في
الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
“Kepemimpinan umum bagi seluruh
kaum muslim di dunia, guna menerapkan hukum-hukum syara’, dan mengemban dakwah
islamiah ke seluruh alam.” [Hizbut Tahrir, Al-Khilafah, hlm 1. Lihat juga Qodhiy
An-Nabhaani, Muqoddimah Ad-Dustur, hlm 118,
dan Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz 2 hlm 6]
Dari definisi Khilafah di
atas, dapat dipahami tiga poin penting :
Pertama, bahwa Khilafah
itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia.
Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti
kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi), atau seperti
kepemimpinan khusus pada bidang tertentu, misalnya kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat
dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`). Dapat dipahami juga Khilafah adalah
institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat
umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas
negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.
Kedua, bahwa fungsi
pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan,
baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik
luar negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri
dari negara Khilafah.
Ketiga, bahwa fungsi
kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia.
Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi
sabilillah ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad
fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara
Khilafah.
Kewajiban Menegakkan khilafah
Kewajiban Khilafah adalah
perkara yang jelas dalilnya berdasarkan Al Qur’an , as Sunnah, dan ijmak
Sahabat.
Pertama, Dalil Al Qur`an, antara lain firman
Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah
dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa` : 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari
ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil
Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil
Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah
SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata
lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri.
Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam
adalah wajib hukumnya.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah
SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ
وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari
ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk
memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan
Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada
Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak
dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini
tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka
berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari
Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna
kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga
seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,
hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan
menegakkan Syariah Islam itu.
Kedua, dalil dari
as-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah
berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ
عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan
menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja
yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti
kematian jahiliyah” (HR. Muslim)
Nabi saw telah mewajibkan
kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati
orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati
seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw
kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya
baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan
eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim.
Ketiga, dalil berupa
ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas
keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau
wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah,
lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin
Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya
pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu
mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau.
Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para sahabat
adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya,
sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah,
sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam
penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu
mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada
waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa,
dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikebumikan
pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam
dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw.
Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri
mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi
kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah.
Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka
akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai
seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama
sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun
ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil
yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah.
Empat Pilar Negara Khilafah
Sistem Khilafah tegak di
atas empat pilar: (1) As-Siyaadah (kedaulatan)
berada di tangan syara’; (2) As-Sulthon (kekuasaan)
berada di tangan rakyat; (3) Mengangkat satu orang Kholifah fardhu atas seluruh
kaum Muslim; (4) Hanya Kholifah yang berhak mengadopsi hukum syariah [Qodhiy
An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur, hlm 109].
Jika salah satu saja dari empat pilar tersebut tiada, maka suatu pemerintahan
tidak bisa disebut sebagai pemerintahan Islam [Qodhiy An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hlm 201].
1) As-Siyaadah (kedaulatan)
berada di tangan syara’
Kedaulatan adalah
otoritas absolut tertinggi, sebagai satu-satunya pemilik hak untuk menetapkan
hukum segala sesuatu dan perbuatan [Al-Kholidi, Qowaid
Nizhom al-Hukm fi al-Islam, hlm 24]. Berdasarkan firman Alloh swt:
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ
مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ [الأنعام:
57]
“Katakanlah: Sesungguhnya aku
berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu
mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan
kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Alloh. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS.
Al-An’am: 57)
Karena penetapan hukum
hanya milik Alloh swt semata, maka peran penguasa (kholifah) dalam sistem
pemerintahan Islam hanya sebagai pelaksana, tanpa memiliki wewenang sedikitpun
untuk membuat hukum.
2) As-Sulthon (kekuasaan)
berada di tangan rakyat
Bahwa pengangkatan
seorang kepala negara (kholifah) dalam pemerintahan Islam tidak lain adalah
berdasarkan pilihan umat dengan metode bai’at. Baik dari mayoritas umat, atau
yang mewakili mereka, yaitu ahlu al-halli wa al-‘aqdi;
dan kholifah hanya mengambil kekuasaan melalui bai’at umat ini [Qodhiy
An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur, hlm 111; dan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hlm
20]. Diantara yang menggambarkan bahwa kholifah dipilih oleh umat adalah hadits
shahih dari Abu Hurairah ra berikut.
عن النبي صلى الله عليه وسلم
قال كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي
وسيكون خلفاء فيكثرون قالوا فما تأمرنا قال فوا ببيعة الأول فالأول أعطوهم حقهم
فإن الله سائلهم عما استرعاهم
Dari Nabi saw beliau bersabda:
Adalah Bani Israil mereka diurus oleh para nabi-nabi. Setiap kali seorang nabi
meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi
setelahku, dan yang akan ada adalah para kholifah dalam jumlah yang banyak.
Para sahabat bertanya: lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami?, Nabi
menjawab: “Tunaikanlah bai’at bagi yang pertama dan pertama, berikanlah kepada
mereka hak-hak mereka, sungguh mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak
oleh Alloh swt atas apa yang mereka urus.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
3) Mengangkat satu orang Kholifah
fardhu atas seluruh kaum Muslim
Jumlah kholifah di setiap masa tidak boleh lebih dari satu.
Berdasarkan hadits shahih riwayat Muslim berikut.
عن أبي سعيد الخدري قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما
Dari Abu Sa’id Al-Khudri,
beliau berkata: Rosululloh saw bersabda: “Jika dibaiat dua orang kholifah maka
bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR.
Muslim)
Imam An-Nawawi (w. 676 H) berkata:
واتفق العلماء على أنه لا يجوز
أن يعقد لخليفتين في عصر واحد ، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا
“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua kholifah
di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.” [An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, juz 12 hlm 232]
4) Hanya Kholifah yang berhak
mengadopsi hukum syariah
Satu-satunya yang berhak
mengadopsi hukum syari’ah untuk kemudian diterapkan atas kaum muslim adalah
kholifah, berdasarkan ijma’ shahabat.
Misalnya, saat pemerintahan Abu Bakar, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak
tiga kali dihukumi talak satu. Namun, saat pemerintahan Umar bin Al-Khaththab,
beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali dihukumi talak tiga. Tidak
ada satupun sahabat Nabi saw yang mengingkari tindakan keduanya. Dengan
demikian, telah terjadi Ijma’ Shahabat dalam
dua perkara. Pertama: Kholifah berhak mengadopsi dan menetapkan hukum syariah
yang diberlakukan secara umum kepada seluruh rakyat. Kedua: wajib atas rakyat
menaati Kholifah dalam hukum-hukum syariah yang telah diberlakukan [Qodhiy
An-Nabhani, Muqoddimah ad-Dustur, hlm 17].
Tidak ada komentar